Timboel Siregar : Kelas Rawat Inap Standar dan Kebutuhan Dasar Kesehatan

Timboel Siregar (BPJS WATCH).

Jakarta, CYBERNEWSNASIONAL.COM – Saat ini sedang ramai dibicarakan tentang penghapusan ruang perawatan klas 1, 2 dan 3 dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Mengacu pada Pasal 54A Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020, Pemerintah akan menetapkan manfaat Jaminan Kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar paling lambat bulan Desember 2020.

Walaupun diamanatkan paling lambat bulan Desember 2020, namun sampai saat ini Pemerintah belum juga menetapkan manfaat Jaminan Kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar dalam regulasi yang baru. Pemerintah baru sebatas mewacanakan saja seperti pemberitaan penghapusan klas 1,2 dan 3 ini.

Adapun Pasal 54B-nya mengamanatkan pelaksanaan manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54A diterapkan secara bertahap sampai dengan paling lambat tahun 2022 dan pelaksanaannya dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan tata Kelola Jaminan Kesehatan.

Kehadiran Pasal 54A secara eksplisit ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan, bukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan JKN kepada masyarakat. Sepertinya Pemerintah masih takut JKN mengalami defisit pembiayaan lagi seperti yang dialami sejak 2014 sampai 2019 lalu. Dengan alasan tersebut, masyarakat mulai merasa khawatir tentang rencana pelaksanaan kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar tersebut.

Dengan hanya menyebut untuk mendukung keberlangsungan pendanaan Jaminan Kesehatan, masyarakat khawatir akan ada manfaat pelayanan JKN yang dikurangi lagi. Seperti kita ketahui, Pemerintah menurunkan manfaat JKN pada Pasal 52 ayat (1r) Perpres no. 82 tahun 2018 yang tidak lagi menjamin pelayanan Kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang. Sebelumnya JKN menjamin pelayanan tersebut.

Demikian juga beberapa obat cancer dikeluarkan dari formularium nasional sehingga tidak lagi dijamin oleh JKN, seperti Bevatizumab dan Xetuzimab, obat cancer usus besar. Tetunya penurunan manfaat tersebut sangat merugikan peserta JKN.

Kelas rawat inap standar merupakan amanat Pasal 23 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2004, dan ketika JKN beroperasi Pemerintah belum siap dengan kelas rawat inap standar sehingga ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3 dijadikan acuan kelas standar rawat inap bagi peserta JKN.

Dalam Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2012-2019, Pemerintah telah merancang implementasi rawat inap kelas standar secara bertahap tetapi sampai saat ini belum juga terimplementasi. Namun karena didera defisit selama enam tahun (sejak 2014 – 2019) barulah Pemerintah menyadari pentingnya penerapan rawat inap kelas standar.

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) diberikan tugas mengkaji konsep rawat inap kelas standar, dengan mempertimbangkan beberapa aspek antara lain ketersediaan jumlah tempat tidur (TT) pada setiap kelas perawatan di RS saat ini, pertumbuhan jumlah peserta JKN, kemampuan fiskal negara dan kemampuan masyarakat dalam membayar iuran, dan angka rasio utilisasi JKN. Klas Rawat Inap Standar yang disampaikan oleh DJSN adalah Klas Rawat Inap PBI yang isinya maksimal 6 TT dan Klas Rawat Inap Non PBI yang isinya maksimal 4 TT.

Kami sangat mengharapkan kajian DJSN ini mampu menjawab persoalan ruang perawatan yang sering dialami peserta JKN dan pelayanan di ruang perawatan. Faktanya masih banyak peserta JKN yang sulit mengakses ruang perawatan. Masih ada RS yang mendahulukan pasien umum dibandingkan pasien JKN, sehingga pasien JKN mengalami kesulitan untuk mengakses ruang perawatan. Demikian juga pasien JKN mengalami masalah di ruang perawatan seperti harus pulang dalam kondisi belum layak pulang, disuruh beli obat sendiri, dan sebagainya.

Kesulitan mengakses ruang perawatan, salah satunya, disebabkan ketersediaan TT di RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Semakin banyak RS yang bekerja sama akan meningkatkan TT untuk peserta JKN.

Saya berharap seluruh RS menjadi mitra BPJS Kesehatan sehingga seluruh TT yang ada di klas 1, 2 dan 3 selama ini semuanya menjadi TT di kelas standar nantinya. Selain itu harus juga ditingkatkan peran BPJS Kesehatan di Unit Pengaduan untuk mencarikan ruang perawatan di RS lain bagi pasien JKN yang tidak mendapat ruang perawatan, dan membantu pasien JKN yang mengalami masalah di ruang perawatan.

Penerapan rawat inap kelas standar akan berdampak pada besaran iuran dan tarif INA-CBGS. Besaran iuran dan tarif INA-CBGS akan dihitung ulang menyesuaikan dengan dua jenis kelas standar. Saya berharap besaran iuran yang akan ditetapkan bisa terjangkau oleh peserta mandiri, sehingga bisa menurunkan jumlah peserta yang non-aktif (yang menunggak iuran).

Bila iuran nantinya ditetapkan lebih dari Rp. 35.000 per orang per bulan maka akan semakin sulit peserta klas 3 mandiri membayar iurannya. Oleh karena itu saya berharap bila penerapan Klas Rawat Inap Standar dengan nilai iuran baru maka dimungkinkan peserta klas 3 mandiri yang tidak mampu untuk mendaftar di Klas Rawat Inap Standar PBI (bukan di klas Non PBI) dengan nilai iuran Rp. 42.000 per orang per bulan namun mendapat subsidi Rp. 7.000 sehingga mereka tetap membayar Rp. 35.000,- seperti saat ini.

Demikian juga penyesuaian tarif INA-CBGS kelas standar bisa mengakomodir biaya pelayanan kesehatan yang selama ini dilakukan RS-RS. Tarif baru diharapkan nantinya bisa mendorong RS yang selama ini tidak mau bekerja sama, akan mau menjadi mitra BPJS Kesehatan sehingga mendukung peningkatan TT bagi peserta JKN. Demikian juga, dengan menjadikan rawat inap kelas standar maka potensi fraud INA-CBGS dari perbedaan kelas perawatan RS akan dapat dikurangi.

Dalam amanat Pasal 54B tentang penerapan Klas Rawat Inap Standar di akhir 2022, saya menilai belum tentu seluruh RS yang menjadi mitra BPJS Kesehatan mampu memenuhi standar ruangan rawat inap yang akan ditentukan Pemerintah. Oleh karenanya penerapan Klas Rawat Inap Standar ini juga bisa mengakomodir kesiapan seluruh RS, sehingga mereka tetap bekerja sama walaupun belum mampu memenuhi standar Pemerintah, dengan tenggat waktu yang diperpanjang.

Tentang kebutuhan dasar kesehatan yang juga akan diatur lagi oleh Pemerintah, kami meminta agar semangat meningkatkan pelayanan bagi peserta JKN diutamakan oleh Pemerintah dan BPJS Kesehatan, bukan malah menurunkan manfaat pelayanan kesehatan yang selama ini terjadi, termasuk mengeluarkan beberapa obat dari formularium nasional.

Sesuai dengan Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan, saya berharap Pemerintah juga mengajak masyarakat untuk memberikan masukan tentang regulasi baru yang akan mengatur tentang Klas Rawat Inap Standar dan Kebutuhan Dasar Kesehatan, jangan hanya mengajak bicara organisasi profesi. Semoga putusan MK tentang UU Cipta Kerja membuat Pemerintah lebih hati-hati dalam membentuk regulasi yang mengatur soal Klas Rawat Inap Standar dan Kebutuhan Dasar Kesehatan ini. (Red)

Sumber : Opini Timboel Siregar.

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.