Timboel Siregar : Perbaikan Layanan Kesehatan

JAKARTA, Cybernewsnasional.com – Seorang Ibu menghubungi saya, berkeluh kesah tentang obat yang diterimanya dari sebuah RS yang hanya didapat untuk 7 hari, padahal dokter meresepkannya untuk 30 hari. Ibu peserta Program JKN, berobat jalan dengan jaminan JKN, mempertanyakan perihal pihak apotek yang memberikan jumlah obat tidak sesuai dengan resep dokter tersebut.

Kejadian yang dialami Ibu tersebut adalah masalah klasik di program JKN, yang terus terulang sejak program JKN dimulai di 1 Januari 2014 lalu. Ini adalah bentuk kecurangan (fraud) yang dilakukan oknum RS yang sangat merugikan pasien peserta JKN. Pasien disuruh beli sendiri atas kekurangan obat yang diberikan oleh apotek RS. Namun klaim INA CBGs yang dilakukan RS adalah utuh, sehingga pemberian jumlah obat yang kurang tersebut adalah bentuk korupsi yang dilakukan oknum RS.

BPJS Watch kerap kali menerima laporan seperti ini, dan ketika kami laporkan ke BPJS Kesehatan pihak apotek RS segera memberikannya. Pihak RS sepertinya takut ke BPJS Kesehatan, dan tidak mau bermasalah dengan BPJS Kesehatan. Tapi apakah harus dilaporkan dulu, baru kekurangan obat diberikan kepada pasien JKN?

Namun kejadian seperti ini terus terjadi, tidak bisa diselesaikan secara sistemik. Kasus seperti ini lebih banyak dialami oleh pasien lansia yang memang sudah harus mengkonsumsi obat secara rutin.

Memang tidak semua peserta JKN memiliki pengetahuan tentang hak atas obat seperti yang diamanatkan Pasal 22 ayat (1) UU SJSN. Demikian juga, ada pasien JKN yang tidak berani melapor karena takut dipersoalkan pada saat berobat ke RS tersebut. Paling tidak dua alasan ini yang dimanfaatkan oknum apotek RS untuk meraih keuntungan dengan mengorbankan pasien JKN.

Kenaikan paket biaya INA CBGs di Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 tahun 2023 masih belum menyadarkan oknum RS untuk tidak berbuat curang kepada pasien JKN. RS menikmati kenaikan paket biaya tersebut namun tetap mengambil “untung” dari obat.

Persoalan lain yang dihadapi peserta JKN terkait obat adalah tidak semua obat masuk ke dalam Formularium Nasional (fornas) sehingga ada obat yang diresepkan dokter tetapi tidak dijamin program JKN. Seharusnya daftar obat di Fornas tidak boleh menghambat akses peserta JKN atas obat.

Lahirnya UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), yang menjanjikan enam pilar transformasi layanan Kesehatan kepada rakyat Indonesia, yaitu layanan primer, layanan rujukan, ketahanan kesehatan, SDM Kesehatan, Pendanaan Kesehatan, dan Teknologi Kesehatan, diharapkan akan mampu memperbaiki layanan Kesehatan termasuk layanan obat kepada peserta JKN.

Masyarakat mengharapkan adanya perbaikan layanan kesehatan, bahkan layanan yang lebih lagi dengan memanfaatkan kemajuan digitalisasi teknologi informasi dan teknologi kesehatan di era UU Kesehatan.

Masyarakat rentan seperti lansia dan disabilitas diharapkan bisa mengakses pelayanan kesehatan dan obat di rumah. Pemeriksaan bisa via link zoom dan obat dikirim via ojol.

Persoalan layanan obat adalah salah satu masalah layanan kesehatan diantara persoalan lainnya. Akses ke ruang rawat inap juga masih ada kendala, yang akan berpotensi lebih bermasalah lagi dengan pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) ke depan. Peserta JKN yang harus dipulangkan RS dalam kondisi belum layak pulang pun masih kerap terjadi.

Dari seluruh persoalan layanan kesehatan tersebut, kehadiran UU Kesehatan harus memberikan dampak perbaikan signifikan bagi layanan kesehatan di Indonesia. UU Kesehatan harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini dialami pasien JKN dan pasien umum lainnya secara sistemik dengan pengawasan dan penegakkan hukum yang jelas dan tegas.

Pinang Ranti, 18 September 2023

Timboel Siregar : BPJS WATCH

***(Red)***

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.