JAKARTA, Cybernewsnasional.com – Tunjangan Hari Raya (THR) telah menjadi hak yang dinantikan oleh pekerja menjelang hari raya keagamaan. Namun, sejarahnya tidak sesederhana itu. Perjuangan panjang buruh dalam memperoleh THR melibatkan berbagai kebijakan dan aksi protes yang akhirnya membentuk regulasi yang kita kenal saat ini.
Jejak Awal THR di Masa Kolonial
Sejarah THR di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa pendudukan Jepang pada 1943. Saat itu, pegawai sipil menerima hadiah menjelang Idul Fitri, meski di Jepang sendiri tidak ada konsep THR karena tidak adanya hari raya keagamaan dalam budaya kerja mereka.
Setelah Indonesia merdeka, kebijakan serupa diterapkan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada era Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo (1951-1952). Saat itu, THR diberikan dalam bentuk tunjangan bagi pamong praja dengan besaran Rp125 hingga Rp200, yang jika disesuaikan dengan nilai sekarang sekitar Rp1,1 juta hingga Rp1,75 juta.
Namun, kebijakan ini mendapat kritik karena hanya menguntungkan PNS, sementara pekerja swasta tidak mendapat hak serupa.
Perjuangan Buruh Swasta untuk THR :
Pada 1952, para buruh yang dipimpin oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) melakukan aksi mogok kerja menuntut pemberian THR bagi pekerja swasta. Pemerintah akhirnya mengeluarkan Surat Edaran Menteri Perburuhan pada 1954 yang mengimbau perusahaan swasta memberikan tunjangan lebaran.
Pada 1961, peraturan ini diperkuat dengan kebijakan yang mewajibkan perusahaan memberikan THR kepada buruh yang telah bekerja minimal tiga bulan. Di era Orde Baru, lahirlah Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 16 Tahun 1968 yang mengatur THR bagi buruh swasta.
Regulasi ini terus mengalami perubahan, hingga pada 1994, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 yang menegaskan THR harus diberikan sesuai dengan hari raya keagamaan pekerja.
Ketentuan THR di Era Reformasi :
Pada 2016, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menerbitkan Permenaker No. 6 Tahun 2016, yang memperluas cakupan THR, termasuk bagi pekerja yang baru bekerja satu bulan. THR juga wajib diberikan kepada pekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Tahun 2025 menandai babak baru dengan diterbitkannya SE Menaker M/3/HK.04.00/III/2025 yang menegaskan bahwa THR tidak boleh dicicil. Selain itu, untuk pertama kalinya, pengemudi dan kurir online juga mendapatkan Bonus Hari Raya (BHR) berdasarkan SE MENAKER No. M/3/HK.04.00/2025.
THR untuk Pekerja Alih Daya: Hak yang Tak Bisa Dihilangkan
Berdasarkan Permenaker No. 6 Tahun 2016, pekerja alih daya juga berhak menerima THR, karena mereka termasuk dalam definisi pekerja yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kesimpulan :
THR bukanlah pemberian sukarela dari pengusaha, tetapi hasil perjuangan panjang para pekerja dan serikat buruh. Dari aksi mogok buruh hingga kebijakan resmi pemerintah, THR kini menjadi hak fundamental yang wajib dipenuhi. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam memastikan kepatuhan pengusaha dalam membayarkan THR tepat waktu dan sesuai ketentuan.
Manggarai, 17 Maret 2025
Opini : Indra Munaswar
Ketua Umum FSPI.