JAKARTA, MCNN – Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) bekerjasama dengan Perhimpunan Organisasi Pasien Tuberkulosis (POP TB) Gelar Wicara sosialisasikan Aplikasi OneImpact Sehat di Wyndham Hotel, Jalan Casablanca, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (24/8/2020).
Dalam kegiatan Gelar Wicara yang dilakukan secara online dan offline tersebut, diikuti sekitar 53 orang secara luring dan 260 secara daring dengan pembahasan hak-hak pasien Tuberkulosis (TB), termasuk diantaranya untuk mengurangi stigma dan diskriminasi melalui aplikasi OneImpact Sehat.
Menurut Ketua PBLKNU Drs. Hisyam Said Budairy, M.Sc, saat membuka acara mengatakan, bahwa kegiatan dengan belajar mengenal aplikasi OneImpact Sehat, POP TB bekerjasama dengan LKNU sebagai Sub Sub Recipient (SSR) teknis yang fokus pada program intervensi TB RO.
“Aplikasi ini menyediakan layanan umpan balik secara daring yang dirancang dengan menggunakan jaringan internet dan smart phone yang mudah dalam pengoperasiannya. Terdapat lima menu utama, yaitu Informasi tentang TB, Fasilitas Kesehatan Terdekat, Obrolan, Lapor, dan Survey, yang dirancang untuk memperkuat pasien TB dengan berbagai informasi dan layanan terkait TB, serta memberikan kesempatan berjejaring di antara pasien TB,” jelasnya.
Dirinya juga menjelaskan, dalam OneImpact Sehat di menu keempat, dirancang untuk mendorong pasien TB dapat melaporkan seluruh keluhan atau kendala yang dihadapi selama mendapatkan layanan TB. Sedangkan menu kelima adalah survey mengenai penggunaan aplikasi OneImpact Sehat sebagai dasar evaluasi program aplikasi.
“Aplikasi ini telah melalui ujicoba dan akan terus disempurnakan, dengan dimodifikasi oleh Stop TB Partnership Global sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan sebelum benar-benar dapat digunakan oleh pasien TB,” imbuh, Drs. Hisyam Said Budairy.
Beberapa catatan terkait hasil ujicoba, 86% dari 53 pasien yang diwawancara menyatakan bahwa aplikasi OneImpact Sehat sangat membantu mereka dalam mengetahui informasi TBC. Selain itu, berdasarkan dashboard OneImpact Sehat, 40.5% pasien melaporkan efek samping obat menjadi kendala pengobatan, 18.9% mengalami kendala ketersediaan layanan TB, 14.4% mengalami kendala biaya pengobatan serta 11.7% mengalami stigma.
Mewakili LKNU, Dr. Esty Febriani M.Kes, sebagai moderator, dalam kegiaran yang menghadirkan mantan pasien TB-RO Delano Reynaldo dan Ketua PETA Ully Ulwiyah, dirinya menjelaskan peran utama LKNU, sebagai organisasi masyarakat, mendukung Kemenkes dalam menjalankan Strategi Nasional Penanggulangan TBC, khususnya untuk penemuan kasus TBC, pendampingan pasien dan peran advokasi untuk peningkatan dukungan sumber daya program TBC di kabupaten/kota.
Menurut Dr. Esty Febriani M.Kes, saat ini stigma yang dialami pasien TBC, yakni mulai dari perlakuan tidak nyaman dari keluarga, petugas kesehatan dan bahkan adanya pasien yang diusir dari lingkungan tempat tinggal dan diberhentikan dari pekerjaan.
“Dengan penggunaan aplikasi ini menjadi penting, dan mendesak mengingat tuberkulosis masih menjadi penyakit dengan beban tinggi di dunia termasuk Indonesia. Menurut laporan WHO TB Global 2018, di Indonesia terdapat 842.000 orang sakit karena TB dan 116.000 orang meninggal karena TB. Persoalan ini menjadi mendesak karena hanya 53% atau 446.732 dari 842.000 yang dilaporkan. Artinya, sisanya masih hilang tidak terlaporkan, atau lebih tepatnya tidak tersuarakan,” terangnya.
Dalam keterangan lanjutnya, Dr. Esty Febriani M.Kes juga menerangkan, The Global Fund (2019) melaporkan, bawa kondisi yang semakin berat ketika penderita TB menghadapi stigma dan diskriminasi dari petugas kesehatan, anggota masyarakat, pemberi kerja, keluarga, serta stigma diri sendiri. Hal ini menjadi hambatan yang signifikan dalam pengujian, diagnosis, perawatan dan kepatuhan pengobatan sehubungan dengan layanan TB. Selain itu, Spiritia (2018) melaporkan bahwa kurangnya pengetahuan menyebabkan ketakutan dan stigma.
Di lain pihak, menurutnya, pasien TB kurang menyadari adanya hak-hak pasien yang yang seharusnya tersuarakan agar segera mendapat respon dan solusi. Permasalahan hak asasi manusia ini menjadi inti dari Strategi End TB WHO, dengan lima hak asasi yang diperjuangan, yaitu Hak untuk sehat, Hak untuk bebas dari stigma dan diskriminasi, Hak untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan, Hak untuk mendapatkan informasi, dan Hak untuk bebas menentukan pilihan.
“Penggunaan aplikasi OneImpact Sehat ini semakin relevan, terutama pada masa pandemi Covid-19 yang sebagian besar mengandalkan aplikasi yang bersifat daring. Berdasarkan hasil Survei Pemantauan Implementasi Protokol TB Nasional, yang dilakukan oleh STPI bekerjasama dengan Kemenkes RI, LKNU, Aisyiyah, dan POP TB Indonesia, pada 18-26 Mei 2020, menunjukkan angka yang signifikan pada penggunaan ponsel, yaitu 70% petugas kesehatan TB di Puskesmas, 67% pengelola program TB kabupaten, dan 48% petugas layanan TB PMDT menggunakan ponsel (WhatsApp, telpon, SMS/chat) untuk memantau pengobatan pasien TB. Petugas kesehatan menghubungi kader atau keluarga pasien (45% responden Puskesmas; 38% responden PMDT) atau terus melakukan kunjungan rumah sambil berlatih jarak fisik (41% PMDT responden; 18% responden Puskesmas). Dari survei itu juga terdapat data yang menunjukkan bahwa 55% pasien TB-RO dan 41% kader TB menemukan informasi TB melalui media social. Selain itu, terdapat 33% pengelola TB kabupaten menggunakan media sosial untuk mempromosikan informasi TB,” terang Dr. Esty Febriani M.Kes.
Melalui aplikasi OneImpact Sehat, dirinya berharap pasien TB akan menemukan cara yang paling efektif dan efisien untuk menyuarakan hak-hak mereka, terutama untuk mengurangi stigma dan diskriminasi, menyampaikan umpan balik atas seluruh keluhan atau hambatan selama mendapatkan layanan TB, dan sekaligus sebagai saluran dalam mendapatkan informasi yang benar dan cepat terkait TB.
“Untuk mengunduh aplikasi OneImpact Sehat cukup buka Googla PlayStore, kemudian cari “OneImpact”, atau klik tautan ini: https://play.google.com/store/apps/details?id=com.duretechnologies.android.ios.android.maxico, kemudian install atau pasang,” tandas Dr. Esty Febriani M.Kes.(red)