JAKARTA, Cybernewsnasional.com – Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Pasalnya, rancangan Permenkes tersebut dinilai berpotensi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya Undang-Undang dan Peraturan Presiden.
Permenkes KRIS merupakan tindak lanjut dari Pasal 46A ayat (3) Perpres No. 59 Tahun 2024 yang mengatur bahwa ketentuan teknis mengenai KRIS ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Namun, menurut pengamat jaminan sosial Timboel Siregar, isi dan proses pembentukan Permenkes tersebut justru mengandung sejumlah masalah hukum dan prosedural yang serius.
“Permenkes tidak boleh bertentangan dengan UU dan Perpres. Dalam hierarki perundang-undangan, posisi Permenkes berada di bawah Perpres, apalagi di bawah UU,” tegas Timboel.
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Menteri Kesehatan disebutkan secara eksplisit ingin menerapkan model KRIS dengan satu ruang perawatan maksimal berisi 4 tempat tidur, serta pembatasan jumlah tempat tidur bagi pasien JKN di rumah sakit. Kemenkes mengusulkan alokasi 60% tempat tidur non-intensif untuk pasien JKN di RS pemerintah dan 40% di RS swasta.
Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak pihak, terutama serikat pekerja dan organisasi buruh, karena dinilai membatasi akses layanan kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Timboel menegaskan, pembatasan jumlah tempat tidur tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 50 Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mengatur bahwa peserta JKN berhak atas perawatan inap kelas 1, 2, dan 3 tanpa pembatasan kuota.
Tak hanya secara substansi, secara prosedur pun pembuatan Permenkes ini cacat. Hingga kini, Kemenkes belum melakukan pelibatan masyarakat sebagaimana diamanatkan Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2022 yang mengubah UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Masyarakat, terutama peserta JKN, terdampak langsung oleh Permenkes ini. Seharusnya mereka dilibatkan dalam proses pembentukannya. Tapi sampai sekarang, tidak ada pelibatan. Ini menunjukkan indikasi arogansi kebijakan,” ujar Timboel.
Ia mendesak agar Menteri Kesehatan mematuhi asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan tidak mengabaikan hak-hak peserta JKN.
“Permenkes harus tunduk pada UU No. 12 Tahun 2011, UU No. 13 Tahun 2022, dan Perpres No. 82 Tahun 2018. Jangan memaksakan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat,” tegasnya.
KRIS yang digadang sebagai solusi peningkatan layanan seharusnya dilakukan secara bijak dan inklusif. Pemerintah diminta mengedepankan prinsip keadilan dan menjamin akses kesehatan yang layak bagi seluruh peserta JKN.
***(Red)***