Korps HMI Wati (Kohati) Badko Jabar Pertanyakan Soal Penyediaan Alat Kontrasepsi di Sekolah

Ketua Umum Kohati Badko HMI Jawa Barat, Hana Muhamad
Ketua Umum Kohati Badko HMI Jawa Barat, Hana Muhamad

BANDUNG, Cybernewsnasional.com Korps HMI Wati (Kohati) Badko Jawa Barat mempertanyakan terkait dengan soal penyediaan alat kontrasepsi di sekolah. Hal itu diungkapkan Ketua Umum Kohati Badko HMI Jawa Barat, Hana Muhamad menyikapi keluarnya peraturan pemerintah yang mengatur kesehatan sistem reproduksi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang ditandatangani Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 26 Juli 2024.

Diketahui dalam peraturan itu ada disebutkan satu isinya mengatur penyediaan alat kontrasepsi untuk kelompok usia sekolah atau remaja.

Hana Muhamad mempertanyakan terkait dengan isi pasal tersebut. Ia mendesak agar Pemerintah segera merevisi peraturan tersebut karena dianggap tidak memberikan solusi yang tepat. Menurut Hana, pemberian kondom di sekolah telah menjadi topik yang menimbulkan perdebatan hangat di masyarakat.

“Disatu sisi, langkah ini dianggap sebagai upaya proaktif untuk melindungi kesehatan siswa dan mencegah penularan penyakit menular seksual serta kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, disisi lain, banyak pihak yang khawatir bahwa tindakan ini akan dipandang sebagai legitimasi atau dorongan bagi siswa untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang berisiko,” ujar Hana dalam keterangan tertulisnya, Rabu (07/09/2024).

Hana mengatakan, dalam peraturan tersebut tertuang dalam Pasal 103 ayat 4 yang merinci soal pelayanan kesehatan reproduksi salah satunya penyediaan alat kontrasepsi yang berbunyi, “Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining; b. Pengobatan; c.ehabilitasi; d. konseling; e. penyediaan alat kontrasepsi”.

Disampaikannya, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai penyediaan alat kontrasepsi pada usia sekolah dan remaja di pasal tersebut, seperti di Pasal 104 yang mengatur pelayanan kesehatan reproduksi dewasa dimana penyediaan alat kontrasepsi secara jelas disebutkan bagia pasangan usia subur dan kelompok yang beresiko.

“Sayangnya di Pasal 103 ini tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pembahasan penyediaan alat kontrasepsi pada usia sekolah dan remaja, seperti penjabaran di Pasal 104 dijelaskan terkait dengan pelayanan kesehatan reproduksi dewasa, penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok yang beresiko,” terangnya.

Hana juga menyebut,  dilema antara prioritas kesehatan publik dan kekhawatiran akan dampak moral yang mungkin timbul. Mereka yang mendukung program ini berpendapat bahwa remaja saat ini sudah aktif secara seksual dan membutuhkan akses ke alat kontrasepsi yang aman.

Dengan menyediakan kondom di sekolah, diharapkan dapat mengurangi insiden kehamilan remaja dan mencegah penularan penyakit. Disisi lain, pengkritik khawatir bahwa tindakan ini dapat dianggap sebagai persetujuan sekolah terhadap hubungan seksual di kalangan siswa yang masih di bawah umur. Mereka berpendapat bahwa sekolah seharusnya fokus pada pendidikan moral dan nilai-nilai yang menekankan penundaan hubungan seksual hingga usia yang lebih matang, demikian dikatakan Hana.

“Perdebatan ini tidak hanya menyangkut masalah kesehatan, tetapi juga mencakup isu-isu etika, agama, dan peran sekolah dalam pembentukan karakter siswa. Dibutuhkan kebijakan yang berlandaskan penelitian dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk menemukan solusi yang seimbang dan dapat diterima semua pihak,” tutupnya.

Sampai dengan berita ini ditayangkan, belum didapatkan konfirmasi dari pihak terkait pemerintahan yang menangani persoalan tersebut.

(A Zazuli)

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.