CIAMIS, Cybernewsnasional.com – Kirab Mahkota Binokasih kembali digelar untuk ketiga kalinya di Kabupaten Ciamis, Sabtu (19/4/2025). Antusiasme luar biasa terlihat dari warga, budayawan hingga jajaran pemerintah menyambut kedatangan mahkota warisan Kerajaan Galuh yang diyakini menyimpan nilai luhur dan makna spiritual mendalam bagi masyarakat Tatar Galuh.
Kirab ini merupakan hasil kolaborasi antara Keraton Sumedang Larang dengan Pemerintah Kabupaten Sumedang, serta menggandeng empat pemerintah daerah lainnya sebagai bentuk pelestarian budaya dan sejarah yang terintegrasi dalam rangkaian Hari Jadi.
Dalam prosesi kirab, Mahkota Binokasih diarak ke dua situs bersejarah di Ciamis, yakni Astana Gede Kawali dan Situ Lengkong Panjalu. Keduanya dipercaya sebagai pusat penting Kerajaan Galuh di masa lampau. Kehadiran mahkota ini menjadi momentum penyatuan kembali semangat budaya Galuh, Sumedang, dan Pajajaran.
Kepala Dinas Pariwisata Ciamis, Budi Kurnia, menyebut Mahkota Binokasih bukan sekadar pusaka kerajaan, tapi simbol besar sebuah peradaban.
“Binokasih bukan hanya siger atau totopong, tapi gagasan besar Raja Galuh tentang peradaban yang ideal: penuh kasih, keadilan, dan kesejahteraan,” ujarnya.
Budi menekankan, mahkota ini adalah refleksi dari filosofi Pancasila yang menekankan cinta kasih antar sesama manusia.
“Hanya pemimpin yang punya cinta kasih yang mampu membangun peradaban. Dulu, calon raja Galuh yang ingin mengenakan mahkota ini harus dipastikan adil dan menyayangi rakyatnya,” tambahnya.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora) yang mewakili kepala dinas, menegaskan bahwa Mahkota Binokasih adalah lambang pemersatu.
“Ciamis selalu merindukan kehadiran mahkota ini. Harapan kami, ke depan yang datang bukan hanya replika, tapi mahkota asli peninggalan Galuh bisa kembali hadir di tanah kelahirannya,” tuturnya.
Ia pun berharap ada kebijakan dari empat pemerintah daerah terkait masa depan pusaka tersebut.
Kirab Mahkota Binokasih juga menjadi sarana edukasi kepada generasi muda agar mengenal sejarah dan leluhur. Erwan dari Disbudpora menjelaskan bahwa mahkota ini pernah digunakan oleh Prabu Siliwangi di Bogor sebelum akhirnya dibawa ke Sumedang oleh Kandaga Lante.
“Keluarga Keraton Sumedang pun sadar, mahkota ini bukan hanya milik satu daerah. Ia milik bersama, simbol persatuan Galuh, Sumedang, Pajajaran, satu Sunda saamparan,” ujarnya.
Setelah kirab, acara dilanjutkan dengan prosesi nyekar ke Makam Astana Gede, tempat yang dipercaya sebagai lokasi pengambilan sumpah dan penobatan raja-raja Galuh. Tempat ini terus dilestarikan sebagai pengingat akan pentingnya menghormati sejarah leluhur.
“Kalau tidak ada leluhur kita, maka tidak akan ada kita,” ujar salah satu tokoh masyarakat saat prosesi berlangsung.
Kirab Mahkota Binokasih menjadi cermin bahwa sejarah dan budaya bukan sekadar masa lalu, tapi pijakan penting untuk menatap masa depan dengan nilai luhur: cinta kasih, persatuan, dan kesejahteraan rakyat.
***(R.Gumilar) ***