Buruh TOLAK Rencana Pemerintah Gabungkan JKK Ke SJSN

Ilustrasi Aksi Buruh

Jakarta, CYBERNEWSNASIONAL.COM – Sebagai amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ada lima program yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP), dan di UU Cipta Kerja ditambah satu program jaminan sosial baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Tentunya seluruh program yang diamanatkan UU SJSN dan UU Cipta Kerja ini ditujukan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan kategorial

tugas masing-masing program, yang satu sama lain saling melengkapi.

Secara konkret setiap penduduk dengan 6 jaminan sosial ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila tejadi hal – hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.

Program JKK adalah program jaminan sosial ketenagakerjaan yang diatur secara khusus oleh Pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2015 junto PP No.82 Tahun 2019. Program ini ditujukan demi meningkatkan kualitas perlindungan bagi
pekerja di Indonesia ketika mengalami kecelakaan kerja dan perlindungan bagi ahli warisnya ketika pekerja mengalami kematian.

Program ini berpangkal pada hak – hak warganegara yang diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 edisi amandemen yang kemudian diturunkan lebih lanjut menjadi
rangkaian Undang – Undang No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang – Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Insitut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) dalam Press Releasenya pada hari Jum’at 17 Desember 2021, menyatakanbahwa saat ini Pemerintah berencana menggabungkan Program JKK ke Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang artinya program JKK akan dikelola oleh BPJS Kesehatan.

Pemerintah akan menyerahkan proses pembiayaan kuratif peserta yang mengalami kecelakaan kerja kepada BPJS Kesehatan termasuk didalamnya Penyakit Akibat Kerja (PAK), sementara untuk proses santunan dan pelatihan diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Tentunya rencana ini tidak sesuai dengan semangat hadirnya program JKK bagi pekerja.

Rencana ini akan berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan kecelakaan kerja kepada peserta JKK.

Rencana ini sudah pasti akan menuai protes keras dari pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang selama ini sudah menerima manfaat dan layanan yang baik dari BPJS Ketenagakerjaan.

Oleh karena itu, para Aktivis SP/SB yang tergabung dalam Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) menyatakan sikap MENOLAK rencana Pemerintah tersebut dengan alasan:

1. Korban kecelakaan kerja harus tetap mendapatkan penanganan segera dan berkelanjutan. Korban kecelakaan kerja di BPJS Ketenagakerjaan bisa langsung ke Rumah Sakit (RS), namun pasien JKN harus via FKTP (puskesmas, klinik, dsb) bila tidak emergency.

2. Di BPJS Ketenagakerjaan, pelayanan korban kecelakaan kerja bisa langsung ditangani oleh semua RS, baik yang bekerja sama maupun tidak bekerjasama
dengan BPJS Ketenagakerjaan, sementara peserta JKN hanya bisa dilayani di RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

3. Pembiayaan kecelakaan kerja di BPJS Ketenagakerjaan dilakukan dengan Fee For Service sementara pembayaran di BPJS Kesehatan dengan system paket INACBGs. Perbedaan sistem pembayaran ini berkorelasi dengan perlakuan di RS. Dengan fee for service, RS lebih layak menangani pasien korban kecelakaan kerja, sementara pasien JKN dengan INA CBGs berpotensi terjadi fraud seperti yang selama ini terjadi pasien disuruh pulang sebelum layak pulang.

4. Paska penanganan kecelakaan kerja, peserta korban kecelakaan kerja yang melakukan kontrol/ pemeriksaan rutin dapat langsung ke RS, sementara di JKN diperlakukan via FKTP (klinik, puskesmas,dsb).

5. Manfaat kecelakaan kerja di BPJS Ketenagakerjaan inheren dengan santunan cacat dan santunan tidak mampu bekerja, pelatihan (RTW) hingga peserta yang meninggal dengan perlindungan bagi ahli waris. Tentunya manfaat kuratif dengan manfaat-manfaat tersebut adalah satu kesatuan.

6. Dalam praktik di lapangan, pekerja yang sakit dan menggunakan layanan JKN akan berproses lama sehingga meninggalkan pekerjaan. Hal inilah yang kerap menjadi komplain pengusaha. Bila JKK digabung ke JKN, maka proses penyembuhan
pekerja yang mengalami kecelakaan kerja akan berproses lama di RS, dan ini akan mengganggu proses kerja dan produktivitas pekerja.

7. Selama ini prosedur penanganan Kecelakaan Kerja (KK) dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) sudah diatur dengan jelas sehingga penegakkan KK dan PAK bisa dilakukan. Dan oleh karenanya prosedur penangangan KK dan PAK ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menggabungkan JKK ke JKN.Iuran JKK sudah direkomposisi ke Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebesar 0,14 persen (maksimal upah Rp. 5 juta) sehingga bila JKK digabung ke JKN maka akan ada potensi kenaikan iuran JKK dan ini akan berpotensi diprotes oleh Pengusaha. Pengusaha yang sudah membayar iuran JKN, nanti akan membayar iuran JKK pula. Kalangan ketika pengusaha terlambat membayar iuran dan pekerja yang mengalami
kecelakaan kerja harus dirawat inap. Saat ini pengusaha yang menunggak iuran JKK tidak kena denda, sementara di program JKN, denda diberlakukan.

8. Iuran JKK sudah direkomposisi ke Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebesar 0,14 persen (maksimal upah Rp. 5 juta) sehingga bila JKK digabung ke JKN maka akan ada potensi kenaikan iuran JKK dan ini akan berpotensi diprotes oleh Pengusaha. Pengusaha yang sudah membayar iuran JKN, nanti akan membayar iuran JKK pula. Kalangan Pengusaha cenderung akan meminta iuran satu saja.

9. Bila iuran JKK diserahkan ke JKN maka tidak ada ruang dana JKK diinvestasikan karena akan masuk menjadi dana DJS Kesehatan, yang akan digunakan untuk
membiayai pelayanan Kesehatan. Lalu dampaknya tidak ada hasil investasi yang menurut prinsip ke-9 Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus dikembalikan
kepada kesejahteraan pekerja.

10. Dana kelolaan program JKK berjumlah Rp. 41 Triliun (per 31 Desember 2020)
adalah dana pekerja yang hasil kelolaan investasinya harus dikembalikan kepada
pekerja. Bila dana JKK dikelola BPJS Kesehatan maka hasil investasi akan sulit diperoleh pekerja, dan kondisi ini sudah tidak sesuai dengan prinsip ke-9 SJSN,
yang mengamanatkan hasil investasi dikembalikan untuk kesejahteraan pekerja
dan keluarganya.

11. Dana iuran JKK yang selama ini dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, minimal 50 persen dibelikan Surat Berharga Negara (SBN), untuk membantu APBN. Bila dana
iuran JKK diserahkan ke DJS Kesehatan di JKN maka tidak ada lagi dana iuran JKK diinvestasikan di SBN, dan ini tentu saja akan merugikan APBN.

12. Dana Rp. 41 Triliun yang diinvestasikan di berbagai instrument, bila dicairkan dari berbagai instrument investasi tersebut (seperti saham dan reksadana) akan mempengaruhi bursa saham. Demikian juga bila dana JKK di SBN dicairkan akan
mengganggu APBN.

13. Dengan digabungkannyanya JKK ke JKN maka peluang peningkatan manfaat JKK
akan semakin sulit. Peningkatan manfaat JKK di PP No. 82 tahun 2019 dilakukan karena adanya dana kelolaan yang besar.

14. Pasal 52 ayat (1r) Perpres 82/2018 tentang JKN, korban penganiayaan dan tindak
pidana tidak dijamin JKN, tetapi korban penganiayaan di BPJS Ketenagakerjaan
menjadi tanggungan BPJS Ketenagakerjaan. Ada regulasi yang bertabrakan, dan ini berpotensi merugikan pekerja.

15. Dalam ketentuan Perpres No. 64 Tahun 2020 diamanatkan Denda pelayanan yang nilainya 5 persen x INA CBGS x jumlah bulan tertunggak, bagi perusahaan yang
menunggak iuran nantinya. Denda yang tinggi ini akan merugikan pengusaha ketika pengusaha terlambat membayar iuran dan pekerja yang mengalami
kecelakaan kerja harus dirawat inap. Saat ini pengusaha yang menunggak iuran JKK tidak kena denda, sementara di program JKN, denda diberlakukan

16. Untuk menjawab adanya keluhan BPJS Kesehatan yang mengalokasikan dana
sekitar Rp. 2,68 Triliun untuk mengatasi masalah KK dan PAK, maka cara untuk menurunkan pembiayaan tersebut adalah dengan mendaftarkan seluruh pekerja di program JKK di BPJS Ketenagakerjaan sehingga ketika pekerja mengalami KK dan PAK pihak BPJS Ketenagakerjaan yang akan menanggungnya, bukan lagi BPJS Kesehatan.

17. IHII dan SP/SB juga mendesak kepada Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan RI untuk memberlakukan PBI (Penerima Bantuan Iuran) JKK dan JKm bagi pekerja informal miskin (seperti petani miskin, nelayan miskin, pedagang asongan, sopir angkot, pemulung dsb) mulai 1 Januari 2022 sehingga masyarakat miskin dapat dijamin sepenuhnya oleh BPJS Ketenagakerjaan yang tentu saja akan mengurangi beban biaya dari BPJS Kesehatan. (Red).

Sumber berita : Press Release IHII (17/12/2021).

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.