Bagus Sudarmanto: Media Jangan Kehilangan Kompas Moral di Era Viral

oleh -57 Dilihat
banner 468x60

JAKARTA.Cybernewsnasional.com-Disrupsi digital dinilai telah mengubah secara signifikan lanskap media di Indonesia. Perkembangan media sosial, platform berbasis algoritma, serta ekonomi perhatian (attention economy) tidak hanya memengaruhi model bisnis media, tetapi juga menggeser praktik dan etika jurnalistik.

Penulis dan pemerhati media, Bagus Sudarmanto, menilai bahwa dalam situasi tersebut, deontologi media justru menjadi semakin penting sebagai fondasi moral pers.

banner 336x280

“Di tengah arus disrupsi digital yang serba cepat, jurnalisme tidak boleh kehilangan kompas moralnya. Kecepatan dan viralitas tidak boleh mengalahkan kewajiban etis untuk memverifikasi kebenaran,” ujar Bagus dalam catatan reflektifnya.

Menurut Bagus, deontologi media yang berakar pada pemikiran filsuf Immanuel Kant menekankan bahwa tindakan moral harus dijalankan berdasarkan kewajiban, bukan semata-mata pada dampak atau keuntungan. Prinsip ini, lanjutnya, tercermin jelas dalam Kode Etik Jurnalistik Indonesia yang mewajibkan jurnalis bersikap independen, akurat, dan berimbang.

Namun demikian, realitas ekosistem digital Indonesia yang sangat kompetitif kerap mendorong media mengikuti arus viralitas. Fenomena “No Viral, No Justice” disebutnya sebagai gambaran bagaimana perhatian publik di media sosial sering menjadi syarat agar suatu persoalan memperoleh respons institusional.

“Fenomena ini memperlihatkan dilema serius bagi media. Ketika logika viral lebih diutamakan, risiko sensasionalisme dan penyederhanaan persoalan hukum yang kompleks menjadi sangat besar,” kata Bagus.

Ia menegaskan bahwa tanggung jawab utama media bukanlah sekadar memantulkan opini publik, melainkan menyajikan informasi yang telah diverifikasi, kontekstual, dan proporsional.

“Media bukan sekadar produsen konten, tetapi institusi publik yang memikul tanggung jawab moral dalam menjaga kualitas ruang publik,” tegasnya.

Bagus juga menyoroti kemunculan aktor non-jurnalistik seperti buzzer politik, influencer, dan akun anonim yang kini turut membentuk agenda wacana publik. Dalam kondisi tersebut, media sering berada di bawah tekanan untuk mengamplifikasi narasi yang telah viral meskipun belum sepenuhnya terverifikasi.

“Dalam kerangka deontologis, verifikasi adalah kewajiban moral, bukan pilihan strategis. Tanpa verifikasi, jurnalisme kehilangan legitimasi etiknya,” ujarnya.

Lebih jauh, Bagus menilai disrupsi digital telah memicu distorsi ruang publik sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas, di mana rasionalitas digantikan oleh emosi dan polarisasi. Kondisi ini, menurutnya, semakin diperparah oleh rendahnya literasi media di Indonesia.

“Media hari ini diuji: apakah akan menjadi penjernih wacana publik atau justru penguat kebisingan digital,” katanya.

Dalam relasi antara jurnalisme dan aktivisme, Bagus mengingatkan pentingnya menjaga jarak kritis. Ia menilai keberpihakan pada korban tetap penting, namun tidak boleh mengorbankan prinsip independensi dan asas praduga tak bersalah.

“Empati tidak boleh berubah menjadi trial by media. Independensi tetap menjadi fondasi utama etika jurnalistik,” ungkapnya.

Ia berharap deontologi media di Indonesia dipahami sebagai etos reflektif yang mampu merespons perubahan teknologi tanpa kehilangan prinsip dasarnya.

“Kecepatan tidak boleh mengalahkan kebenaran, dan viralitas tidak boleh menggantikan verifikasi,” tutup Bagus.

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.